21 November 2011

Bapak Tua di tengah Hujan




Di suatu sore, sudah aku pulang dari perjalanan panjang yang taklepas dari lelah dan penat. Bisa dikatakan perjalanan kala itu adalah perjalanan yang ekstrem karena memang jalan yang saya lalui itu, lebih pantas menjadi area offroad yang memiliki kesukaran tinggi dan luar biasa daripada layak menjadi jalan yang banyak dilalui khalayak ramai. Mungkin ujung dari perjalanan itu adalah sebuah desa di dalam desa Karena saking terpencil dari yang terpencil, terpojok dari yang terpojok, dan terujung dari segala ujung. *ngelus dada dan berpikir “masih ada ya tempat kayak gini”* Namun, tetap saja kunikmati perjalanan, walau kadang terlontar kalimat istighfar ketika mobil yang saya tumpangi mengalami kemiringan kurang sedikit dari 45 derajat, dan lebih sering mengucap puji pujian meminta keselamatan untuk perjalanan kali ini. Fiuhh -______- Setelah memasuki daerah kota yang jauh dari kesunyian namun surgannya para pelancong ini, saya mulai bernafas lega dan mulai bisa memejamkan mata melepaskan penat yang beradu dengan waktu. Sesekali, mimpi bermain hingga tamatnya cerita, dan sesekali juga bersambungnya cerita dalam mimpi menggugah jiwa yang masih terlelap. Setelah beberapa kali terbangunkan oleh mimpi yang kian saja bersambung, saya mulai merefresh mata dengan jalanan yang menghampar bagaikan red carpetnya artis artis Hollywood. Jalan yang indah bertepi pepohonan dan mewanginnya bunga yang juga berwarna warni. Semua indah, tak ada kata penyesalan untuk semua yang saya tangkap oleh indera.
Sampai di tengah jalan yang entah apa namannya, hujan menghamburkan isinnya, dan mulai membanjiri kota yng tadi kunikmati keindahannya. Hawa segar kian semerbak dengan aroma hujan yang sangat khas. Namun, di tengah hujan yang selebat hutan itu, tak sengaja mataku memfokuskan bayangan pada sebuah montor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa dan dipadukan dengan berbagai keranjang yang berisi beberapa jeruk nona yang jumlahnya tak lebih dari 20biji. Motor reyot yang telah ditaklukan dengan usia itu, Nampak tetap gagah terparkir di tepian jalan walau dimandikan air hujan. Kulihat sekeliling, namun tak ada manusia yang sekirannya memiliki barang tua itu. Namun, betapa terperangahnya diri, ketika kudapai seseorang yang lebih tua dari motor reyot tadi tampak tergetar bibirnya karena kekuatan dari dinginny air hujan.

Air hujan yang beliau kenakan pun tak bisa menghangatkan air hujan yang mengguyur deras di atas rapuh hidupnya. Spontan saya menyayangkan kebodohan si bapak yang lebih memilih bertahan melawan kekuatan hujan daripada pulang ke rumah dengan menikmati hangatnya kopi seduhan istri tercinta. Namun, sesegera bayangan lain yang tak kalah trenyuh terlintas menyeberangi fikiran yang menggantung, apa si bapak punya prioritas uang yang harus didapatnya dari beberapa biji jeruk yang terletak di ranjang ranjang motornya yang juga takluput dari hujan sehingga ia rela berselimut kedinginan. Apa si bapak enggan pulang tanpa uang yang sudah dinantikan segenap keluarga untuk skedar membeli seciduk beras karena tertahan oleh lapar. Mungkin ia menyadari bahwa ia adalah tulang punggung yang harus pulang dengan segenggam uang. Yang mungkin dalam hatinnya telah tertanam benih benih kehidupan. Dan sebagai kodratnyalah sebbuah kehidupan tertopang. Seakan bapak itu memancarkan aurannya sebagai seorang ayah yang tak lelah mengais rezeki walau badai menerpa, walau hujan membasahi, walau petir beradu mulut. Tetap ia pada satu tumpuan untuk mendapatkan rezeki yang selalu ia sebut dalam doannya. Seakan si ayah yang enggan membiarkan anak istrinnya menahan perihnya kesunyian dalam perut, seakan ia enggan membayangkan anak istrinnya menanti kehadirannya di daun pintu hanya sekedar ingin menanyakan “bagaimana dagangan hari ini, Pak?” hanya itu, ia tak sudi meneteskan air mata penyesalannya yang kala itu tak ada sepeser pun uang didapat. Ia lebih mengutamakan mereka, mereka yang membuatnya kini bertahan melawan hujan, bertahan menahan angin yang melayangkan asannya, melawan dingin yang tak sebanding dengan dingin hatinnya. Ia lebih mampu bertahan karena mereka adalah kekuatannya, kekuatan yang meneguhkannnya untuk bertahan. Ia lebih rela mengorbankan tubuhnya disbanding mengorbankan mereka yang menjadi tanggung jawbnya. Enggan ia gagal menjadi ayah yang siap mengayomi keluarga yang membesarkan hatinnya. Itulah kekuatan seorang ayah yang hingga kini aku luput akan itu. Yang selama ini terlewatkan untuk hal yang lain. Karena aku tak melihat bagaimana uang itu dating dan pergi, aku hanya tahu kalau kini uang itu ada. Tak tahu aku bagaimana itu ada, seberapa peluh untuk mendapatkannya, karena sekali lagi aku hanya tahu uang itu sekarang ada. Rasa hati ini mengucap syukur yang selalu deras mengalir tak hentinya setelah mengambil hikmah dari si bapak yang renta. Syukur karena tak perlu mengorbankan kepala keluarga terkalahkan oleh titik titik yang membanjiri. Semua ada saat yang lain merasa ketiadaan. Kemudahan selalu menghinggapi walau di luar sana sejuta umat berperang melawan takdir yang menyulitka. Semua hanya tinggal sekali kecap, bak kekuatan magic, semua ada . Tak perlu sesulit si bapak di pinggir hujan yang merapuhkan bopangan kehidupannya untuk beradu dengan hujan Illahi. Betapa bersyukurnya diri yang luput dari segal yang ada dalam diri si bapak renta. Bahwa kita bukan bagian dari kepedihan yang berpendar. Syukur Alhamdulillah… 
  Jessica Rahma Prillantika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

donor komentar <( ‾▿‾)>